RESIKO MENJADI ISTRI TENTARA (RAMBUT HARUS PENDEK !!!)

Aku bahagia sekali.  Cukup lama aku menjalin kasih dengan pacarku ini. Aku mengenalnya sejak ia masih taruna Akabri.

Setelah menikah kami sempat tinggal di rumah orang tuaku, menunggu penugasanannya.

Sore itu ia pulang dengan wajah berseri-seri. Dengan semangat ia memelukku, dan menggandengku ke kamar. Dengan bangga ia menceritakan penugasannya. Ia di angkat menjadi seorang komandan  pleton disebuah kesatuan elit di Makassar. Aku ikut bahagia. Jabatan ini layak disandangnya sebagai salah seorang lulusan 10 besar terbaik di angkatannya.

Sejak itu kami bersiap-siap, karena sewaktu-waktu kami harus segera pindah.

Dua minggu setelah itu, kami berangkat ke tempat tugasnya. Perjalanan itu seolah menjadi perjalanan bulan madu kami. Aku sangat menikmatinya.

Markas kesatuannya terletak sekitar 20 km di luar kota. Sebagai sebuah merkas pasukan elit, kompleks markas cukup baik. Sekalipun tida berada di tengah kota, namun hampir semua kebutuhan tersedia disini. Mulai pasar kecil, fasilitas kesehatan, sampai keperluan lainnya.

Kami mendapat fasilitas rumah sederhana. Tak terlalu besar, namun cukup nyaman, dibagian perumahan perwira. Tetangga kami cukup baik. Di sini rupanya kami yang paling muda. Tetangga kami di perumahan perwira ini umumnya berusia minimal 3 tahun diatas kami.

Ketika kami datang, komandan Batalyon dan istrinya masih cuti selama 3 hari. Jadi suamiku belum melakukan serah terima. Akupun belum menjalani upacara penerimaan sebagai anggota Peratuan istri tentara. Selama tiga hari ini kami berdua melewati hari dengan berbelanja peralatan rumah tangga, dan berjalan-jalan di sekeliling kompleks. Suamiku sudah aktif berdinas dari pagi sampai sore. Aku sendiri lebih banyak menghabiskan waktu dengan berkenalan dengan tetangga-tetangga baru kami.

Beberapa orang istri tentara yang lebih senior memintaku untuk mempersiapkan diri untuk mengikuti inagurasi. Semacam upacara penyambutan anggota baru. Aku sudah mengenal tradisi ini. Di kesatuan manapun pasti ada seremoni semacam ini. Sebelum kami menikah pun aku sudah di beri penjelasan oleh istri komandan suamiku mengenai hal ini. Jadi nampaknya tidak ada yang harus dikhawatirkan.

Namun salah seorang anggota persatuan mengisyaratkan bahwa inagurasi di kesatuan kami agak berbeda. Namun ia tidak menjelaskan lebih jauh. Ia hanya melirik ke rambutku.

Rambutku memang salah satu kebanggaanku. Aku sangat memperhatikan penampilanku yang satu ini. Sejak remaja aku menghabiskan banyak waktu dan biaya untuk merawatnya. Biasanya aku berambut sebahu. Namun sejak menikah aku belum pernah memotongnya. Hanya sempat merapikannya sebelum keberngkatan kami. Kini panjangnya melewati pundakku. Tebal dan hitam. Suamiku tidak terlalu memperhatikan hal ini.

Ibu-ibu istri tentara disini kuperhatikan berambut pendek  Karena wajar istri tentara rambutnya pendek. Kami lalu ngobrol tentang hal-hal lain. Dan aku sudah melupakan masalah tadi.

Keesokan harinya suamiku meminta ku untuk ikut menghadap komandan. Dengan semangat aku mempersiapkan diri. Mengenakan seragam persatuan istri tentara, lalu berangkat bersama suamiku.

Komandan kami cukup baik. Usianya masih sekitar 45 taqhun. Dengan wajah tegas khas tentara. Setelah kami memperkenalkan diri, ia memintaku untuk menghadap ketua Persit di ruang kerjanya. Akupun pamit meninggalkan mereka. Sebelum aku keluar ruangannya, ia sempat mengatakan bahwa pelantikan suamiku akan dilakukan keesokan harinya..

Meninggalkan ruang komandan, aku diantarkan ajudannya ke ruang Ketua Persit. Tempatnya terpisah. Cukup jauh kami berjalan. Akhirnya kami tiba disebuah bangunan serupa barak.  Kami masuk ke ruang tunggu, dan ajudan komandan meninggalkan ku disini.

Seorang ibu mempersilahkan aku menunggu di sebuah ruang tunggu. Tak lama kemudian ia mempersilahkan aku masuk.  Didalam ruangan sudah ada seorang wanita paruh baya. Usianya sekitar 40 tahunan. Ia mengenakan seragam Persit seperti aku. Penampilannya cukup chic.. Rambutnya pendek, dan wajahnya tegas seperti suaminya. Rupanya ia istri komandan kami. Setelah berbasa basi, ia mempersilahkanku duduk. Kami ngobrol hal-hal kecil. Sepanjang pembicaraan aku melihatnya memperhatikan rambutku.

Akhirnya ia memberitahukan bahwa inagurasiku akan dilaksanakan besok siang. Setelah upacara pelantikan suamiku. Ia juga menjelaskan peraturan tata tertib disini. Mulai dari jadwal aktifitas, kewajiban, hingga tata tertib penampilan.

Dengan tegas ia memintaku untuk memotong rambutku. Aku tidak terlalu terkejut, karena rambutku memang sudah panjang untuk ukuran anggota organisasi istri tentara. Dan aku tidak keberatan untuk merapikannya. Lagipula aku merasa ini toh hanya permulaan. Setelah aku menjadi anggota aku akan bisa memanjangkannya lagi.

Ia memintaku untuk ikut penyuluhan yang diadakan siang itu. Dan memintaku untuk hadir bersamanya.  Kami menyudahi pertemuan siang itu. Ia menutup pertemuan itu dengan menegaskan sekali lagi bahwa aku harus memotong rambutku. “Siap bu", jawabku.

Kami kemudian berjalan berdua menyusuri lorong barak hingga keujung. Rupanya diujung barak itu terdapat ruang pertemuan Persit. Ruangan nya cukup luas. Sudah ada sekitar 50 orang anggota Persit yang hadir siang itu. Ibu ketua memintaku untuk duduk disebelahnya.

Setelah membuka pertemuan, ia memintaku untuk berdiri dan memperkenalkanku.

Aku memberikan pidato singkat memperkenalkan diriku, lalu duduk kembali di sebelahnya. Ia kemudian memperkenalkan para pengurus Persit, dengan memintanya berdiri satu-persatu. Mereka semua duduk di barisan depan.

Aku barus adar bahwa semua anggota Persit ini berambut pendek. Aku jadi teringat pada para anggota Kowad. Beberapa sudah bertemu denganku. Tadinya kukira mereka adalah anggota Kowad. Namun ternyata mereka hanyalah anggota Persit. Beberapa ibu yang kukenal di kompleks perwira nampaknya baru saja memotong rambutnya. Karena kemarin rambut mereka tidak sependek ini.

Aku mulai merasa tidak nyaman. Sepanjang pertemuan aku memperhatikan rambut mereka. Para pengurus tidak ada yang rambutnya menyentuh kerah baju. Dan walaupun tidak sependek pria, namun rambut mereka cukup pendek. Beberapa bahkan rambutnya tidak menyentuh telinga. Apakah aku juga harus memotong rambutku sependek itu?

Aku mulai khawatir.

Sebagai istri prajurit, aku tahu persis bahwa prestasi suamiku juga ditentukan dari prestasi istrinya di orgnasisasi. Aku sudah cukup senang diminta menjadi pengurus Persit di batalyon ini. Namun aku tidak siap jika harus memotong rambutku sependek mereka.

Menjelang sore, pertemuan itupun selesai. Ibu ketua meningggalkan kami lebih dahulu, dan memintaku menyusulnya diruang kerjanya. Sebelum aku meninggalkan pertemuan itu, beberapa ibu mengelus rambutku. Sambil berkata, aduh sayang ya. Bagus sekali.


Aku tidak sepenuhnya memahami maksud mereka.  Sambil berjalan menuju ruang kerja ibu ketua, aku sudah mempersiapkan rencana untuk memotong rambutku. Sebelumna aku sempat melihat sebuah salon kecil tak jauh diluar markas. Malam ini aku akan meminta suamiku untuk mengantarkanku kesana. Aku sudah berencana untuk crembath dulu sebelum potong. Hitung-hitung perpisahan dengan rambut panjangku.

Sebelum aku sempat masuk ke ruangannya, ibu ketua sudah keluar lebih dulu. Dan memintaku untuk mengikutinya. Kami menuju mobil dinasnya yang sudah menunggu diluar. Aku tidak tahu akan diajaknya kemana. Aku hanya mengikuti saja. Didalam mobil ia sempat menelpon sesorang, dan memintanya untuk mempersiapkan diri.

“Jangan pulang dulu", katanya.

“Satu orang", katanya lagi.

“Seperti biasa", jawabnya kemudian.

Aku tidak terlalu memperdulikannya. Aku sibuk memikirkan model rambut yang cocok untukku. Di salah satu majalah milikku, aku pernah melihat seorang bintang remaja yang berambut pendek untuk sebuah film. Model bob dengan layer di sisi kirai dan kanan yang feminin. Aku memutuskan akan mengikuti potongan rambutnya.

Tiba-tiba mobil yang kami tumpangi berhenti. Kami masih berada didalam kompleks. Bangunan yang kami datangi tidak terlalu besar. Jalan yang kami lalui juga sempit. Tidak ada papan nama yang menunjukkan bangunan apa ini. Letaknya di belakang kantor batalyon. Dibagian belakang markas. Aku dan suamiku belum pernah melewatinya.

Ibu ketua turun dari mobil, dan aku segera mengikutinya.

Seorang pria tua membuka pintu. Ia mengenakan celana hijau tentara, namun bajunya putih. Kukira ia seorang dokter. Karena bangunan ini tidak jauh dari poliklinik batalyon.


Kami lalu melangkah masuk.

Aku terkejut. Ruangan yang kumasuki ternyata adalah tempat potong rambut.  Ada 2 buah kursi barber didalamnya. Di dinding ada sebuah kaca besar yang memanjang di salah satu sisi. Dibawah kaca itu ada meja panjang. Diatasnya ada berbagai macam peralatan untuk memotong rambut. Dibelakangnya ada jendela lebar, yang membuat ruangan ini terang benderang. Hanya ada kami bertiga didalamnya. Ruangan ini cukup bersih. Dinding berwarna hijau muda ini nampak baru dicat.

Aku masih berdiri termangu. Aku tidak menyangka aku harus memotong rambutku di tempat cukur seperti ini. Walau beberapa kali aku mengantarkan suamiku potong rambut di tukang cukur langganannya, namun tak pernah sekalipun terpikir olehku aku akan memotong rambutku di tukang cukur sperti ini.

Aku terkejut, ketika ibu ketua membentakku. Dengan suara keras ia menyuruhku untuk segera duduk. Pria tadi berdiri di belakang salah satu kursi barber. Ibu ketua kulihat duduk tepat dibelakang kursi barber itu.

Perlahan aku melangkah menuju kursi itu. Lalu menjatuhkan tubuhku diatasnya. Kursi ini sudah nampak tua. Namun masih nyaman aku duduk diatasnya. 

Aku memandang ke cermin, dan melihat wajahku disana. Seorang wanita muda, dengan rambut hitam tebal sebahu, yang nampak ketakutan.

Pria yang ternyata tukang cukur batalyon, mengambil  selembar kain penutup dari laci didepanku. Mengibaskannya, lalu meletakkannya dipangkuanku. Ia lalu menariknya dari belakang. Dan membelitkannya di tubuhku hingga ke leher.  Aku terperangkap di kursi ini didalam balutan kain itu.


Jantungku berdebar keras sekali. Tubuhku gemetar. Tanganku menggenggam erat pegangan kursi. Aku sama sekali tidak tahu apa yang akan terjadi. Pria itu mengambil sebuah sisir besar. Lalu mulai menyisir rambutku. Kasar sekali. Nampak ia tidak biasa menangani rambut sepanjang rambutku. Namun ia berusaha menyisir sekujur rambut dikepalaku. Beberapa kali sisir itu nyangkut. Mungkin karena rambutku terlalu tebal untuk sisir nya itu. Kepalaku tertarik-tarik setiap kali sisir itu tertahan lajunya. Ia nampak semakin tidak sabar. Tangan kirinya menahan kepalaku. Dan sekuat tenaga ia kembali menyisiri rambutku. Sakit sekali rasanya setiap kali ia berusaha memaksa sisir itu lepas dari jeratan rambutku.

Mataku mulai basah. Disamping karena tak kuasa menahan rasa takutku, rasa sakit akibat perbuatannya juga menambah penderitaanku. Akhirnya ia menghentikan aksinya. Lalu menoleh kearah ibu ketua, yang lalu berdiri dan melangkah ke arahku.

Dengan kalimat pendek yang tegas ia berkata kepadaku, “Disini tidak ada wanita berambut panjang. Semua anggota harus selalu menjaga rambutnya sebagai tata tertib organisasi. Semakin tinggi posisinya, semakin pendek rambutnya. Ini untuk menunjukkan kerapian dan kedisplinan. Semua anggota baru harus memotong rambutnya disini. Dan kau harus mengikuti aturan".

Aku hanya terdiam mendengarnya. Mataku basah karena air mata. Aku hanya bisa pasrah. Aku tidak tahu bagaimana tukang cukur ini akan memotong rambutku.

“Lakukan", katanya keras.

“Siap", jawab tukang cukur itu.


Ia lalu mengambil sebuah gunting, dan mendekatiku. Aku memejamkan mataku. Tak sanggup rasanya aku menyaksikan apa yang terjadi.

Aku merasakan rambut di samping kananku tertarik-tarik oleh sisirnya. Kurasakan ia menyisirnya keatas. Lalu kudengar suara ..krrreeesss..  kresss….

Terkejut aku membuka mataku. Apa yang kulihat dicermin membuat metaku terbelalak. Potongan rambut sepanjang hampir 30 cm jatuh perlahan di pangkuanku. Banyak sekali kelihatannya. Aku melirik rambut yang ada di sisi kanan kepalaku. Dan lagi-lagi mataku terbelalak melihatnya. Rambut yang tersisa di kepalaku hanya sekitar 4 cm saja panjangnya.

Dadaku berdebar semakin keras. Pria ini dengan cepat melanjutkan aksinya. Disendoknya lagi rambutku, lalu dengan cepat guntingnya membabat rambut yang menyembul diatasnya. Krreesss. Lagi potongan rambut hitamku jatuh perlahan ke pangkuanku.

Aduh.. aku tak tahan melihatnya.

Kulirik ibu ketua yang duduk dibelakangku. Ia tampak tersenyum.

Pria ini kasar sekali. Rasanya ia ingin secepatnya menghabiskan rambut di kepalaku. Cepat sekali pekerjaannya. Kini ia mulai menyerang rambut diatas kepalaku. Diangkatnya sebagian rambutku dan dengan buas, lalu guntingya memangkas rambutku.

Potongan rambut ku mulai menutupi pundak, pangkuanku, dan lantai di sekeliling kursiku.

Pria ini tanpa ekspresi terus melanjutkan serangannya ke rambutku.


Bagai hujan, potongan rambutku terus jatuh di wajah dan sekujur tubuhku.

Lalu tiba-tiba sunyi.

Ketika kubuka mataku kulihat pria ini berdiri disampingku.

Ia menoleh kebelakang kearah ibu ketua.

Kulihat ke cermin. Rambutku seperti potongan Kowad. Aku hampir tidak mengenali wajahku. Tampak aneh rambut tebalku sependek ini.

Tak sadar aku menghela nafas panjang. Setidaknya siksaan ini sudah selesai.

Namun aku mendengar jawaban ibu ketua yang hampir membuatku pingsan.

“Kurang pendek. Pendekkan lagi".

Aku tak percaya apa yang kudengar. Aku sudah kehilangan hampir seluruh rambutku. Dan ia masih ingin tukang cukur ini memotong lagi rambut yang tersisa di kepalaku.

Pria itu mengambil clipper yang tergeletak di meja. Memasang attachment, lalu kembali menghampiriku.

Aku tak tahan lagi. Tanpa sadar aku berusaha menjauhkan kepalaku ketika ia mulai mendekatkan clipper itu kerambutku.


Berkali-kali ia gagal mejejakkan clippernya di kepalaku. Ia mulai tak sabar.

Ia melirik ke arah ibu komandanku yang membalas dengan tatapan tajam. Lalu tangan kirinya dengan cepat menahan kepalaku sekuat tenaga. Aduh…sakit sekali.Air mataku mulai mengalir di pipiku.. Namun ia nampak tidak perduli.

Dengan kasar tangan kirinya yang kekar mendorong kepalaku kedepan. Dan tangan kanannya membawa clipper itu ke leherku.

Aku dapat merasakan clipper yang dingin itu menyentuh leherku. Lalu dengan cepat ia mendorong nya keatas. Cepat sekali. Clipper itu terus bergerak katas kepalaku. Katika akhirnya ia berhenti, segumpal rambutku jatuh di pangkuanku. Aku tak bisa melihat apa yang terjadi. Sepertinya ia sedang berusaha menggunduliku.

Cepat sekali ia mengulang apa yang baru saja ia lakukan. Dan lagi-lagi gumpalan rambutku jatuh dipangkuanku. Ia kemudian bergeser kesamping. Mendorong kepalaku dengan kasar kesamping. Dengan cepat ia mencukur rambut di sisi kepalaku. Kali ini aku bisa melihat apa yang terjadi. Wajahnya nampak merah menahan marah. Tangannya dengan cekatan menjalankan clipper itu disekujur kepalaku. Kali ini aku hanya pasrah.

Ketika ia menghentikan pekerjaannya, kulihat ibu ketua tersenyum lebar di belakangku.


Dengan cepat pria itu membuka kain penutup tubuhku. Menariknya, dan menjatuhkan potongan rambutku di lantai. Kupandangi rambut ku yang kini tergeletak berserakan tak berdaya di lantai.

Ibu ketua bangkit dari tempat duduknya, dan mendekatiku.

Tanpa berkata, ia memberiku isyarat untuk segera mengikutinya.

Masih lemas rasanya tubuhku ketika aku berdiri dan berjalan keluar mengikutinya. Kulirik potongan rambutku. Kulihat pria itu mengambil sapu dan mulai menyapu potongan rambutku dan memasukkan nya ke keranjang sampah. Lalu aku keluar dari ruangan itu.

Tiga bulan waktu yang cepat. Rambutku mulai menyentuh bahu. Siang ini kami akan melakukan rapat rutin. Beberapa ibu sudah mengingatkanku untuk merapikan rambutku sebelum pertemuan.

Namun kesibukanku membuatku tak sempat memotongkan rambutku.

Sebelum pertemuan, aku dipanggil ibu ketua ke ruangannya. Pasti urusan rambut, batinku.

Ketika aku masuk ke ruangannya aku melihat seorang ibu muda duduk dihadapannya. Anggota baru nampaknya. Masih sangat muda wajahnya. Kulitnya putih. Dan rambutnya tebal mengantung hingga ke punggungnya.

Ibu ketua berkata tegas kepadanya, “ setelah pertemuan, kau ikut kami untuk menjalani tata tertib".

Ibu muda itu dengan senyum  lebar dan wajah berseri menjawab “siap bu". 

5 Komentar:

Unknown mengatakan...

waduh,,,apakah besok aku akan merasakan hal itu jjuga?? duh belum siap

Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Anonim mengatakan...

Sepertinya ini cuma fiksi ya? 12 thn saya jd istri tentara blm pernah dengar cerita spt ini :D

Anonim mengatakan...

Kayaknya fiksi y? Karna sepengalaman saya, gak pernah kayak gini :) dan boleh panjang tapi di ikat jadi kayak sanggul

Posting Komentar