Aku sangat menyayangi istriku. Telah lebih 5 tahun kami menikah. Dan kami telah dikaruniai 2 orang anak yang lucu. Selama ini kami berusaha untuk saling memahami. Saling menyayangi, dan selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik satu sama lain.
Istriku tidak pernah menuntut. Ia sangat memahami keadaanku. Bahkan ia selalu berusaha untuk membahagiakanku dengan caranya sendiri.
Salah satu kebiasaanku yang sangat dikenalnya adalah kegemaranku untuk melihat wanita yang dipotong pendek rambutnya. Ia tahu kebiasaanku untuk browsing di internet untuk mencari sites-site hair fetish yang banyak tersedia.
Bahkan seringkali ia merelakan rambutnya untuk kupotong. Atau malah bersama-sama aku memotongkan rambutnya di tukang pangkas langgananku.
Beberapa kali aku mengajaknya untuk memotong rambutnya di tukang pangkas langgananku. Selama ini, pengalaman itu menjadi pengalaman yang mendebarkan bagi kami berdua. Bagiku itu adalah pemenuhan keinginanku. Baginya itu betul2 pengalaman yang mendebarkan, karena sebelum menikah denganku ia sama sekali tidak pernah memotongkan rambutnya di tukang pangkas.
Selama ini, aku selalu mencoba dulu tukang pangkas yang kuincar untuknya. Biasanya aku memotongkan rambutku dulu disana. Agar aku bisa melihat keadaan dan kebersihan kedainya, kemampuannya, dan suasananya. Aku tidak ingin istri tercintaku di potong rambutnya di tempat yang kotor, jorok, atau di tengah pandangan dan tontonan banyak orang. Aku tetap berusaha membuatnya nyaman dalam menjalankan pengorbanannya. Aku juga tetap ingin melihatnya tampak cantik. Tentunya dengan rambut pendeknya. Dan setelah itu aku selalu menceritakan kepadanya terlebih dahulu situasi kedai pangkas yang kuusulkan. Biasanya kami menyempatkan untuk melewatinya sebelum akhirnya mengajaknya kesana, sekedar untuk memberinya gambaran bagaimana situasi dan kondisi kedai pangkas itu.
Saat ini rambutnya sudah hampir sebahu panjangnya. Biasanya rambutnya bahkan tidak pernah sempat menyentuh bahu. Setiap kali rambutnya sudah nyaris menyentuh bahu, aku telah berusaha merayunya untuk mendatangi tukang pangkas yang kuajukan.
Seperti bisanya, aku mulai merayunya untuk mau memotong rambutnya. Namun ia hanya diam. Namun aku tidak pernah putus asa. Dalam berbagai kesempatan aku selalu menyinggung rambutnya, menyindirnya, menggodanya, atau apapun caranya. Namun kali ini entah mengapa ia tidak menanggapiku.
Hingga suatu ketika ketika kami sama2 sedang bersantai dirumah, tiba2 ia berkata padaku, “Mas, anterin potong ya?"
Aku terkejut.
“Kapan?", tanyaku.
“Sekarang aja yuk? Mumpung anak-anak tidur", katanya.
“Dimana?", tanyaku
“Udah kita jalan aja. Ntar kalau ada tukang pangkas kita tanya. Kalau dia bisa motong perempuan, aku potong disana".
Tapi kita belum tahu kemampuannya, Ma?"
Gak papa", katanya. “Aku pingin sekali-sekali potong rambut di tempat yang kita gak punya informasi apa-apa. Kayaknya kok lebih menantang", ujarnya menggodaku.
“Trus kalau hasilnya jelek?", tanyaku lagi.
“Alah, wong cuma rambut kok. Nanti kan panjang lagi", jawabnya enteng. “Lagian aku kan jilbab-an. Gak ada yang tahu rambutku",
Ya udah, terserah", jawabku.
Kami berganti baju. Setelah memastikan anak-anak aman ditangan mbak pengasuh, kami pergi bermobil berdua.
Aku sama sekali tidak punya ide kemana akan mengarahkan mobilku.
Kami berputar-putar. Ketika melewati kedai pangkas yang pernah kami coba, ia menggeleng. “Cari yang lain aja mas".
Penasaran, aku bertanya padanya “kamu kok berubah? Biasanya kalau belum aku coba kamu gak mau, Dik?"
“Gak tahu ya Mas. Tapi setiap kali aku nurutin Mas potong rambut aku ngerasa gimana gitu. Ya takut, kuatir hasilnya jelek, kadang-kadang gak sreg sama tempatnya. Tapi deg-degannya itu lho. Kayaknya kok gimana gitu".
“Toh meskipun mas sudah nyoba, aku kan baru pertama itu potong di dia. Jadi buat aku gak ada bedanya, apa mas sudah nyoba atau belum. Toh buat aku itu pengalaman pertama. Lagian kalo cuma motong pendek, kayaknya hasilnya ya gitu-gitu aja. Kayak cowok".
“Lama-lama juga kayaknya enakan rambut pendek deh. Ringkes. Lagian kalo mandi kan aku mesti bareng anak-anak. Gak ada waktu lama-lama di kamar mandi, keramas, bilas, ngeringin rambut. Lah gak sempet pokoknya. Kalo pendek kan keramasnya cepet, bilasnya cepet, trus ngeringinnya juga cepet"
Kaget juga aku mendengar penjelasannya yang panjang lebar begitu.
“Trus, nanti kalau nemu tempatnya, kamu mau bilang gimana ke tukang pangkasnya?"
“Mas aja yang ngomong. Terserah mas. Toh orang lain gak tahu, wong kemana-mana aku jilbab-an".
“Kalo tak suruh papras cepak ?" pancingku.
“Terserah", jawabnya tenang.
Kami kemudian larut dalam diam.
Hingga akhirnya kami melewati kawasan pasar. “Pelan mas", katanya. “Biasanya di dekat pasar gini banyak tukang cukur"
Aku mengurangi kecepatanku. Ada beberapa kedai pangkas, namun semuanya terisi penuh.
Aku kemudian melajukan lagi mobilku. Tiba –tiba kami harus menghentikan mobil kami. Entah apa yang terjadi didepan sana, namun kendaraan lain semua terjebak kemacetan. Aku hanya bisa menjalankan mobilku perlahan-lahan. Hingga aku melihat ada persimpangan jalan. Aku membelokkan mobilku ke kiri memasuki jalan itu. Ingin mencari alternatif jalan lain. Daripada terjebak di kemacetan.
Namun di dalam gang ini ternyata ada sebuah kedai pangkas. Ada tanah kosong didepannya, dimana kami dapat memarkir mobil. Aku menoleh ke istriku, dan ia mengangguk.
Kami berhenti didepan kedai itu. Memperhatikan ke dalam. Kedai itu memiliki jendela kaca yang lebar, jadi kami bisa memperhatikan kedalam dengan leluasa. Kedai itu bersih sekali. Ada sebuah kursi pangkas dari kayu, kaca cermin yang cukup lebar, dan sebuah bangku panjang tempat menunggu giliran. Tak terlihat tukang pangkasnya. Namun ada sebuah pintu yang nampaknya menghubungkan kedai pangkas itu dengan rumah tinggal dibelakangnya.
Istriku membuka pintu mobil, dan turun lebih dulu. Aku menyambar kameraku, kemudian turun menyusulnya. Di dalam kedai kami hanya berdua. Beberapa kali aku mengucapkan salam ke dalam pintu dibelakang kedai itu, namun tak ada jawaban.
Ruangan kedai itu tidak terlalu besar, namun cukup lega. Dari dalam, pandangan kami ke arah jalan terhalang oleh mobilku. Jadi kami tidak terlalu terlihat dari luar. Ruangannya bersih, nampaknya pemilik kedai ini sangat menjaga kebersihan kedainya. Selembar kain putih tergantung di sandaran kursi pangkas. Bersih. Nampak masih baru. Sisir, dan gunting ditata dengan teratur di meja panjang di bawah cermin lebar yang tergantung di depan kursi pangkas itu. Sebuah clipper listrik tergantung di sebelahnya.
Tumpukan potongan rambut yang biasanya menjadi pemandangan umum di kedai pangkas lain, tak terlihat disini. Aku melirik keluar, pun tak kutemukan potongan rambut. Bersih sekali batinku.
Perlahan istriku menaiki step yang ada didepan kursi pangkas itu. Kemudian perlahan menjatuhkan tubuhnya di kursi itu. Ada lapisan busa tebal di kursi itu. “Empuk", katanya .
Ia nampak merasa nyaman duduk disana.
Iseng aku menggodanya. “Mau potong mbak?", ucapku berlagak sebagai tukang cukur.
Ia tersenyum dan menjawab “ya pak".
“Potong gimana “ tanyaku lagi
“Dihabisin saja pak" jawabnya menggodaku.
Kami berdua tertawa.
Tiba-tiba seorang pria tua berdiri di pintu masuk. Sambil tersenyum lebar kepada kami.
Ia kemudian mendekati istriku. Tanpa bicara sepatah kata pun, ia mengambil kain putih yang tergantung di sandaran kursi, meletakkan di pangkuan istriku, kemudian menariknya perlahan dari belakang dan menjepitnya. Istriku masih tersenyum-senyum sendiri. Mungkin geli dengan kelakuan kami tadi.
Reflek, aku mengeluarkan kameraku dan mempersiapkannya.
Sayup kudengar bapak itu bertanya kepada istriku dengan suara serak “potong gimana?"
Istriku hanya menunjuk kepadaku. Aku tahu maksudnya, ia ingin bapak itu bertanya padaku.
Sementara bapak itu mengambil sisir dan mulai menyisir rambut istriku.
Aku mulai mengabadikan semuanya, sambil berpikir potongan seperti apa yang aku ingin bapak itu lakukan dengan rambut istriku. Aku mengabadikan ekspresi istriku. Ia masih tersenyum–senyum padaku.
Dengan isyarat bibir, ia berbisik menggoda ke arahku “ …. Rambutnya dihabisin aja pak…" dan kami berdua tersenyum.
Bapak itu menoleh kepadaku dan bertanya dengan suara seraknya “ potong pendek?"
Aku mengangguk dan berkata, “iya pak. Tapi jangan terlalu pendek. Poninya panjang, dibawah mata. Belakangnya di papras bagian bawahnya. Tapi trapnya jangan terlalu tinggi, biar masih feminin. Sampingnya dipotong dibawah telinga. Trapnya juga jangan terlalu tinggi".
Ia bertanya lagi “potong laki?", katanya sambil menunjuk kepalaku.
Kupikir ia belum memahami maksudku. Kembali aku mengangguk dan mengulangi sekali lagi penjelasanku tadi.
Aku kembali mengabadikan deengan kameraku. Istriku kembali menggodaku. Ia berbisik lagi padaku “… dihabisin aja…" dan kami pun tersenyum.
Tiba-tiba kami berdua menyaksikan sebuah pemandangan yang mengerikan.
Bapak itu telah menggenggam sebuah gunting. Dan tiba-tiba dengan sisirnya menyendok rambut di atas kepala istriku. Mengangkatnya , lalu menggunting rambut yang menjuntai panjang diatas sisirnya. Kreessss…..
Astaga…!!!
Rambut yang tersisa di kepala istriku kini hanya sekitar 4 centi saja panjangnya. Potongan rambut panjang istriku jatuh perlahan melewati wajah istriku dan jatuh di pangkuannya.
Istriku ternganga melihatnya. Ia memotong terlalu pendek !!! Seharusnya ia mengikuti petunjukku ! Tapi bapak itu tampak cuek. Dengan lincah ia memainkan guntingnya. Suaranya ramai berdenting-denting. Dengan cekatan tangan kirinya kembali menyendok sebagian rambut diatas kepala isteriku, mengangkatnya lalu dengan cepat guntingnya tanpa ampun membabat rambut istriku. Kembali potongan panjang rambut istriku jatuh di wajahnya. Sekalipun ini bukan pengalaman pertama istriku memotong rambut di tukang pangkas, namun kulihat wajah pucat istriku. Nampaknya potong rambutnya kali ini akan berakhir drastis.
Aku tak bisa berbuat apa-apa. Mau tak mau ia harus menyelesaikan pekerjaannya. Kami berdua sama-sama menyadari hal itu. Pada pria, rambut terpanjang ada di atas kepalanya.
Jika rambut bagian atas kepala istriku sudah dipotongnya sependek itu, maka bagian rambut yang lain pasti akan lebih pendek lagi.
Istrikut hanya diam dan nampak pasrah. Aku tegang memikirkan apa yang akan terjadi pada rambut istriku. Namun sekalipun ia nampak pasrah, kulihat air mata di sudut matanya.
Suara denting gunting itu begitu ramai.
Kini ia pindah ke samping kiri, dan meneruskan pekerjaannya. Pelan kudengar istriku berkata padanya dengan pandangan memohon “ jangan kependekan ya pak". Bapak itu menghentikan pekerjaannya, tersenyum pada istriku lalu kembali meneruskan pekerjaaannya. Tapi tidak ada yang berubah setelah permintaan istriku tadi. Kulihat kepala istriku tertarik-tarik ketika ia menyendokkan sisirnya di rambut tebal istriku. Lagi-lagi gunting mautnya membabat rambut istriku. Dan kembali kami harus melihat rambut sebahu istriku kini tinggal tersisa beberapa centi saja.
Aku tidak tahu apa yang ada di benak pria ini. Namun kali ini aku angkat bicara, “Pak, jangan terlalu pendek ya". Aku tahu sudah terlambat. Namun aku ingin ia bisa meyelamatkan bagian lain dari rambut istriku agar tidak habis dipotongnya.
Namun kembali. Ia tetap memotong rambut istriku pendek sekali. Tubuh istriku yang di balut kain putih itu kini tertutup potongan rambutnya. Pundaknya, pangkuannya, dan lantai disekeliling kursi pangkas itu kini mulai tertutup rambut istriku yang berserakan dimana-mana.
Ia kini pindah ke sebelah kanan. Aku berkata lagi padanya, kali ini sambil kutepuk bahunya. “Pak jangan terlalu pendek ya" ujarku.
Ia tersenyum padaku. Namun lagi-lagi. Aku harus menyaksikan rambut istriku dipotongnya pendek sekali. rjadi. Namun melihat ekspresi wajahku dicermin, ia nampak tertunduk lemas. Aku yakin ia tahu bencana yang terjadi pada rambutnya. Bapak ini buas sekali. Nampaknya ia ingin menghabisi rambut istriku. Aku ingin melindunginya dari kebrutalan pria ini. Namun tetap saja, kami tidak mungkin meninggalkan kedai pangkas ini sebelum istriku selesai dipotong rambutnya.
Kini pria ini pindah ke belakang istriku. Nampaknya percuma kami mengatakan apapun. Pria ini nampaknya sudah berketetapan hati untuk menghabisi rambut istriku. Istirku menatap lesu pantulan wajahnya di cermin. Ia hanya diam setelah menyaksikan rambut indahnya di gunting dengan brutal oleh bapak ini. Dan kini ia menunduk dalam. Seolah mempersilahkan bapak itu membabat habis rambut di belakang kepalanya. Sekalipun istriku tak bisa melihat apa yang tejadi, namun ia masih dapat melihat potongan rambunya yang jatuh dipangkuannya.
Pria itu meletakkan guntingnya. Lalu meraih clipper yang menggantung di meja panjangnya.
Kami terkesiap.
Aduh…!!! Jika dengan gunting saja ia dengan buas membabat rambut istriku. Apa jadinya jika ia menggunakan clipper itu. Lemas rasanya kakiku. Aku tidak bisa membayangkan ia menggunakannya disekujur kepala istriku dan mencukur habis rambutnya.
Kusentuh bahunya dan berkata “jangan kependekan pak. Jangan terlalu banyak motongnya".
Ia kembali tersenyum, kali ini ia menjawab, “potong laki?"
“Iya, tapi jangan terlalu pendek" jawabku mulai emosi.
Namun kulihat istriku berbisik padaku “udah, biarin aja. Aku nggak papa kok", katanya pelan. Akhirnya kulepaskan bahunya. Di cermin istriku nampak bersiap-siap menerima bencana yang akan terjadi. Seolah tahu apa yang akan terjadi, ia nampak menggigit bibir, dan menunduk dalam-dalam. Seolah pasrah mempersilahkan clipper itu untuk menghabisi rambutnya.
Pria itu meletakkan clippernya dileher istriku. Dan mendorongnya keatas. Suara dengung khas clipper itu berubah ketika mulai memotong rambut tebal istriku. Di pertengahan kepala ia menghentikan laju clippernya, dan berpindah ke sebelah jalur yang baru saja dibuatnya. Demikian berulang-ulang. Rambut dibelakang kepala istriku mulai terlihat rapi. Masalahnya hanya rambutnya kini pendek sekali. Aku tak tega melihatnya.
Ia lalu pindah ke samping kiri. Dengan cepat mendorong clippernya dari depan telinga kebelakang. Telinga isitriku kini muncul dari balik rambutnya. Ya ampun… pendek sekali.
Ia meneruskan perjalanan clipper mautnya ke atas. Dan potongan rambut terus berjatuhan. Cepat ia pindah ke sebelah kanan dan kembali melakukan hal yang sama. Istriku nampak berusaha menahan diri.
Pria itu kemudian meletakkan clippernya, dan meraih gunting lain. Kali ini dengan cepat sisir di tangan kirinya menarik rambut istirku kedepan. Oh …poninya !!!
Namun sebelum aku sempat berkata, ia sudah mulai menggunting rambut isitriku tepat didepan matanya. Istriku nampak terbelalak menyaksikannya. Ia lalu mengerahkan serangan nya keatas kepala istriku. Namun tidak banyak yang dipotongnya kali ini. Ia hanya merapikan saja.
Tak lama kemudian ia meletakkan sisir dan guntingmya dimeja panjang. Kulihat istriku menarik nafas panjang. Bapak itu lalu melepas jepit pada kain penutup tubuh istriku. Kusempatkan mengambil gambar tumpukan rambut dipangkuannya. Lalu dengan cepat ia menarik kain itu dan menjatuhkan potongan rambut istriku dilantai.
Istriku masih menatap wajahnya di cermin. Rambutnya pendek sekali. Benar-benar seperti laki-laki. Rasanya seperti potongan rambutku. Ini adalah potongan rambut terpendek yang pernah dialaminya.
Bapak itu mengambil sapu dan mulai menyapu seluruh potongan rambut istriku yang terserak dilantai. Aku mendekati istriku. Merasa bersalah, aku meminta maaf padanya. Ia menjawab pelan “gak papa mas. Cuma masih deg-degan" katanya.
Aduh, pendek sekali rambutnya kini.
Aku mengambil uang disakuku, membayarnya kamudian menggandeng istriku keluar. Sebelum aku masuk mobil, seorang ibu yang nampaknya istri tukang pangkas itu menghampiriku dan berkata, “mas, kalau ngomong sama bapak agak keras ya. Bapak agak budek", katanya sambil berlalu.
Astaga……
Terjawab sudah pertanyaan-pertanyaan di kepalaku. Kenapa kok tempat pangkas ini bersih sekali, kenapa ia terus-menerus memotong rambut istriku.
Jelas sudah bagi kami. Rupanya hanya jawabanku yang pertama saja yang didengarnya. Ketika ia bertanya potong laki? Jadi sia-sia saja kami menjelaskan panjang lebar. Jelas pula bagi kami kenapa tidak ada bekas potongan rambut di kedai itu. Nampaknya kami adalah pelanggannya setelah lama ia tidak menerima tamu. Mungkin karena kekurangannya itu.
Kubelai rambut yang tersisa dikepala istriku yang bersandar ke tubuhku.
“Kapok ma?" tanyaku. Ia tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
Istriku tidak pernah menuntut. Ia sangat memahami keadaanku. Bahkan ia selalu berusaha untuk membahagiakanku dengan caranya sendiri.
Salah satu kebiasaanku yang sangat dikenalnya adalah kegemaranku untuk melihat wanita yang dipotong pendek rambutnya. Ia tahu kebiasaanku untuk browsing di internet untuk mencari sites-site hair fetish yang banyak tersedia.
Bahkan seringkali ia merelakan rambutnya untuk kupotong. Atau malah bersama-sama aku memotongkan rambutnya di tukang pangkas langgananku.
Beberapa kali aku mengajaknya untuk memotong rambutnya di tukang pangkas langgananku. Selama ini, pengalaman itu menjadi pengalaman yang mendebarkan bagi kami berdua. Bagiku itu adalah pemenuhan keinginanku. Baginya itu betul2 pengalaman yang mendebarkan, karena sebelum menikah denganku ia sama sekali tidak pernah memotongkan rambutnya di tukang pangkas.
Selama ini, aku selalu mencoba dulu tukang pangkas yang kuincar untuknya. Biasanya aku memotongkan rambutku dulu disana. Agar aku bisa melihat keadaan dan kebersihan kedainya, kemampuannya, dan suasananya. Aku tidak ingin istri tercintaku di potong rambutnya di tempat yang kotor, jorok, atau di tengah pandangan dan tontonan banyak orang. Aku tetap berusaha membuatnya nyaman dalam menjalankan pengorbanannya. Aku juga tetap ingin melihatnya tampak cantik. Tentunya dengan rambut pendeknya. Dan setelah itu aku selalu menceritakan kepadanya terlebih dahulu situasi kedai pangkas yang kuusulkan. Biasanya kami menyempatkan untuk melewatinya sebelum akhirnya mengajaknya kesana, sekedar untuk memberinya gambaran bagaimana situasi dan kondisi kedai pangkas itu.
Saat ini rambutnya sudah hampir sebahu panjangnya. Biasanya rambutnya bahkan tidak pernah sempat menyentuh bahu. Setiap kali rambutnya sudah nyaris menyentuh bahu, aku telah berusaha merayunya untuk mendatangi tukang pangkas yang kuajukan.
Seperti bisanya, aku mulai merayunya untuk mau memotong rambutnya. Namun ia hanya diam. Namun aku tidak pernah putus asa. Dalam berbagai kesempatan aku selalu menyinggung rambutnya, menyindirnya, menggodanya, atau apapun caranya. Namun kali ini entah mengapa ia tidak menanggapiku.
Hingga suatu ketika ketika kami sama2 sedang bersantai dirumah, tiba2 ia berkata padaku, “Mas, anterin potong ya?"
Aku terkejut.
“Kapan?", tanyaku.
“Sekarang aja yuk? Mumpung anak-anak tidur", katanya.
“Dimana?", tanyaku
“Udah kita jalan aja. Ntar kalau ada tukang pangkas kita tanya. Kalau dia bisa motong perempuan, aku potong disana".
Tapi kita belum tahu kemampuannya, Ma?"
Gak papa", katanya. “Aku pingin sekali-sekali potong rambut di tempat yang kita gak punya informasi apa-apa. Kayaknya kok lebih menantang", ujarnya menggodaku.
“Trus kalau hasilnya jelek?", tanyaku lagi.
“Alah, wong cuma rambut kok. Nanti kan panjang lagi", jawabnya enteng. “Lagian aku kan jilbab-an. Gak ada yang tahu rambutku",
Ya udah, terserah", jawabku.
Kami berganti baju. Setelah memastikan anak-anak aman ditangan mbak pengasuh, kami pergi bermobil berdua.
Aku sama sekali tidak punya ide kemana akan mengarahkan mobilku.
Kami berputar-putar. Ketika melewati kedai pangkas yang pernah kami coba, ia menggeleng. “Cari yang lain aja mas".
Penasaran, aku bertanya padanya “kamu kok berubah? Biasanya kalau belum aku coba kamu gak mau, Dik?"
“Gak tahu ya Mas. Tapi setiap kali aku nurutin Mas potong rambut aku ngerasa gimana gitu. Ya takut, kuatir hasilnya jelek, kadang-kadang gak sreg sama tempatnya. Tapi deg-degannya itu lho. Kayaknya kok gimana gitu".
“Toh meskipun mas sudah nyoba, aku kan baru pertama itu potong di dia. Jadi buat aku gak ada bedanya, apa mas sudah nyoba atau belum. Toh buat aku itu pengalaman pertama. Lagian kalo cuma motong pendek, kayaknya hasilnya ya gitu-gitu aja. Kayak cowok".
“Lama-lama juga kayaknya enakan rambut pendek deh. Ringkes. Lagian kalo mandi kan aku mesti bareng anak-anak. Gak ada waktu lama-lama di kamar mandi, keramas, bilas, ngeringin rambut. Lah gak sempet pokoknya. Kalo pendek kan keramasnya cepet, bilasnya cepet, trus ngeringinnya juga cepet"
Kaget juga aku mendengar penjelasannya yang panjang lebar begitu.
“Trus, nanti kalau nemu tempatnya, kamu mau bilang gimana ke tukang pangkasnya?"
“Mas aja yang ngomong. Terserah mas. Toh orang lain gak tahu, wong kemana-mana aku jilbab-an".
“Kalo tak suruh papras cepak ?" pancingku.
“Terserah", jawabnya tenang.
Kami kemudian larut dalam diam.
Hingga akhirnya kami melewati kawasan pasar. “Pelan mas", katanya. “Biasanya di dekat pasar gini banyak tukang cukur"
Aku mengurangi kecepatanku. Ada beberapa kedai pangkas, namun semuanya terisi penuh.
Aku kemudian melajukan lagi mobilku. Tiba –tiba kami harus menghentikan mobil kami. Entah apa yang terjadi didepan sana, namun kendaraan lain semua terjebak kemacetan. Aku hanya bisa menjalankan mobilku perlahan-lahan. Hingga aku melihat ada persimpangan jalan. Aku membelokkan mobilku ke kiri memasuki jalan itu. Ingin mencari alternatif jalan lain. Daripada terjebak di kemacetan.
Namun di dalam gang ini ternyata ada sebuah kedai pangkas. Ada tanah kosong didepannya, dimana kami dapat memarkir mobil. Aku menoleh ke istriku, dan ia mengangguk.
Kami berhenti didepan kedai itu. Memperhatikan ke dalam. Kedai itu memiliki jendela kaca yang lebar, jadi kami bisa memperhatikan kedalam dengan leluasa. Kedai itu bersih sekali. Ada sebuah kursi pangkas dari kayu, kaca cermin yang cukup lebar, dan sebuah bangku panjang tempat menunggu giliran. Tak terlihat tukang pangkasnya. Namun ada sebuah pintu yang nampaknya menghubungkan kedai pangkas itu dengan rumah tinggal dibelakangnya.
Istriku membuka pintu mobil, dan turun lebih dulu. Aku menyambar kameraku, kemudian turun menyusulnya. Di dalam kedai kami hanya berdua. Beberapa kali aku mengucapkan salam ke dalam pintu dibelakang kedai itu, namun tak ada jawaban.
Ruangan kedai itu tidak terlalu besar, namun cukup lega. Dari dalam, pandangan kami ke arah jalan terhalang oleh mobilku. Jadi kami tidak terlalu terlihat dari luar. Ruangannya bersih, nampaknya pemilik kedai ini sangat menjaga kebersihan kedainya. Selembar kain putih tergantung di sandaran kursi pangkas. Bersih. Nampak masih baru. Sisir, dan gunting ditata dengan teratur di meja panjang di bawah cermin lebar yang tergantung di depan kursi pangkas itu. Sebuah clipper listrik tergantung di sebelahnya.
Tumpukan potongan rambut yang biasanya menjadi pemandangan umum di kedai pangkas lain, tak terlihat disini. Aku melirik keluar, pun tak kutemukan potongan rambut. Bersih sekali batinku.
Perlahan istriku menaiki step yang ada didepan kursi pangkas itu. Kemudian perlahan menjatuhkan tubuhnya di kursi itu. Ada lapisan busa tebal di kursi itu. “Empuk", katanya .
Ia nampak merasa nyaman duduk disana.
Iseng aku menggodanya. “Mau potong mbak?", ucapku berlagak sebagai tukang cukur.
Ia tersenyum dan menjawab “ya pak".
“Potong gimana “ tanyaku lagi
“Dihabisin saja pak" jawabnya menggodaku.
Kami berdua tertawa.
Tiba-tiba seorang pria tua berdiri di pintu masuk. Sambil tersenyum lebar kepada kami.
Ia kemudian mendekati istriku. Tanpa bicara sepatah kata pun, ia mengambil kain putih yang tergantung di sandaran kursi, meletakkan di pangkuan istriku, kemudian menariknya perlahan dari belakang dan menjepitnya. Istriku masih tersenyum-senyum sendiri. Mungkin geli dengan kelakuan kami tadi.
Reflek, aku mengeluarkan kameraku dan mempersiapkannya.
Sayup kudengar bapak itu bertanya kepada istriku dengan suara serak “potong gimana?"
Istriku hanya menunjuk kepadaku. Aku tahu maksudnya, ia ingin bapak itu bertanya padaku.
Sementara bapak itu mengambil sisir dan mulai menyisir rambut istriku.
Aku mulai mengabadikan semuanya, sambil berpikir potongan seperti apa yang aku ingin bapak itu lakukan dengan rambut istriku. Aku mengabadikan ekspresi istriku. Ia masih tersenyum–senyum padaku.
Dengan isyarat bibir, ia berbisik menggoda ke arahku “ …. Rambutnya dihabisin aja pak…" dan kami berdua tersenyum.
Bapak itu menoleh kepadaku dan bertanya dengan suara seraknya “ potong pendek?"
Aku mengangguk dan berkata, “iya pak. Tapi jangan terlalu pendek. Poninya panjang, dibawah mata. Belakangnya di papras bagian bawahnya. Tapi trapnya jangan terlalu tinggi, biar masih feminin. Sampingnya dipotong dibawah telinga. Trapnya juga jangan terlalu tinggi".
Ia bertanya lagi “potong laki?", katanya sambil menunjuk kepalaku.
Kupikir ia belum memahami maksudku. Kembali aku mengangguk dan mengulangi sekali lagi penjelasanku tadi.
Aku kembali mengabadikan deengan kameraku. Istriku kembali menggodaku. Ia berbisik lagi padaku “… dihabisin aja…" dan kami pun tersenyum.
Tiba-tiba kami berdua menyaksikan sebuah pemandangan yang mengerikan.
Bapak itu telah menggenggam sebuah gunting. Dan tiba-tiba dengan sisirnya menyendok rambut di atas kepala istriku. Mengangkatnya , lalu menggunting rambut yang menjuntai panjang diatas sisirnya. Kreessss…..
Astaga…!!!
Rambut yang tersisa di kepala istriku kini hanya sekitar 4 centi saja panjangnya. Potongan rambut panjang istriku jatuh perlahan melewati wajah istriku dan jatuh di pangkuannya.
Istriku ternganga melihatnya. Ia memotong terlalu pendek !!! Seharusnya ia mengikuti petunjukku ! Tapi bapak itu tampak cuek. Dengan lincah ia memainkan guntingnya. Suaranya ramai berdenting-denting. Dengan cekatan tangan kirinya kembali menyendok sebagian rambut diatas kepala isteriku, mengangkatnya lalu dengan cepat guntingnya tanpa ampun membabat rambut istriku. Kembali potongan panjang rambut istriku jatuh di wajahnya. Sekalipun ini bukan pengalaman pertama istriku memotong rambut di tukang pangkas, namun kulihat wajah pucat istriku. Nampaknya potong rambutnya kali ini akan berakhir drastis.
Aku tak bisa berbuat apa-apa. Mau tak mau ia harus menyelesaikan pekerjaannya. Kami berdua sama-sama menyadari hal itu. Pada pria, rambut terpanjang ada di atas kepalanya.
Jika rambut bagian atas kepala istriku sudah dipotongnya sependek itu, maka bagian rambut yang lain pasti akan lebih pendek lagi.
Istrikut hanya diam dan nampak pasrah. Aku tegang memikirkan apa yang akan terjadi pada rambut istriku. Namun sekalipun ia nampak pasrah, kulihat air mata di sudut matanya.
Suara denting gunting itu begitu ramai.
Kini ia pindah ke samping kiri, dan meneruskan pekerjaannya. Pelan kudengar istriku berkata padanya dengan pandangan memohon “ jangan kependekan ya pak". Bapak itu menghentikan pekerjaannya, tersenyum pada istriku lalu kembali meneruskan pekerjaaannya. Tapi tidak ada yang berubah setelah permintaan istriku tadi. Kulihat kepala istriku tertarik-tarik ketika ia menyendokkan sisirnya di rambut tebal istriku. Lagi-lagi gunting mautnya membabat rambut istriku. Dan kembali kami harus melihat rambut sebahu istriku kini tinggal tersisa beberapa centi saja.
Aku tidak tahu apa yang ada di benak pria ini. Namun kali ini aku angkat bicara, “Pak, jangan terlalu pendek ya". Aku tahu sudah terlambat. Namun aku ingin ia bisa meyelamatkan bagian lain dari rambut istriku agar tidak habis dipotongnya.
Namun kembali. Ia tetap memotong rambut istriku pendek sekali. Tubuh istriku yang di balut kain putih itu kini tertutup potongan rambutnya. Pundaknya, pangkuannya, dan lantai disekeliling kursi pangkas itu kini mulai tertutup rambut istriku yang berserakan dimana-mana.
Ia kini pindah ke sebelah kanan. Aku berkata lagi padanya, kali ini sambil kutepuk bahunya. “Pak jangan terlalu pendek ya" ujarku.
Ia tersenyum padaku. Namun lagi-lagi. Aku harus menyaksikan rambut istriku dipotongnya pendek sekali. rjadi. Namun melihat ekspresi wajahku dicermin, ia nampak tertunduk lemas. Aku yakin ia tahu bencana yang terjadi pada rambutnya. Bapak ini buas sekali. Nampaknya ia ingin menghabisi rambut istriku. Aku ingin melindunginya dari kebrutalan pria ini. Namun tetap saja, kami tidak mungkin meninggalkan kedai pangkas ini sebelum istriku selesai dipotong rambutnya.
Kini pria ini pindah ke belakang istriku. Nampaknya percuma kami mengatakan apapun. Pria ini nampaknya sudah berketetapan hati untuk menghabisi rambut istriku. Istirku menatap lesu pantulan wajahnya di cermin. Ia hanya diam setelah menyaksikan rambut indahnya di gunting dengan brutal oleh bapak ini. Dan kini ia menunduk dalam. Seolah mempersilahkan bapak itu membabat habis rambut di belakang kepalanya. Sekalipun istriku tak bisa melihat apa yang tejadi, namun ia masih dapat melihat potongan rambunya yang jatuh dipangkuannya.
Pria itu meletakkan guntingnya. Lalu meraih clipper yang menggantung di meja panjangnya.
Kami terkesiap.
Aduh…!!! Jika dengan gunting saja ia dengan buas membabat rambut istriku. Apa jadinya jika ia menggunakan clipper itu. Lemas rasanya kakiku. Aku tidak bisa membayangkan ia menggunakannya disekujur kepala istriku dan mencukur habis rambutnya.
Kusentuh bahunya dan berkata “jangan kependekan pak. Jangan terlalu banyak motongnya".
Ia kembali tersenyum, kali ini ia menjawab, “potong laki?"
“Iya, tapi jangan terlalu pendek" jawabku mulai emosi.
Namun kulihat istriku berbisik padaku “udah, biarin aja. Aku nggak papa kok", katanya pelan. Akhirnya kulepaskan bahunya. Di cermin istriku nampak bersiap-siap menerima bencana yang akan terjadi. Seolah tahu apa yang akan terjadi, ia nampak menggigit bibir, dan menunduk dalam-dalam. Seolah pasrah mempersilahkan clipper itu untuk menghabisi rambutnya.
Pria itu meletakkan clippernya dileher istriku. Dan mendorongnya keatas. Suara dengung khas clipper itu berubah ketika mulai memotong rambut tebal istriku. Di pertengahan kepala ia menghentikan laju clippernya, dan berpindah ke sebelah jalur yang baru saja dibuatnya. Demikian berulang-ulang. Rambut dibelakang kepala istriku mulai terlihat rapi. Masalahnya hanya rambutnya kini pendek sekali. Aku tak tega melihatnya.
Ia lalu pindah ke samping kiri. Dengan cepat mendorong clippernya dari depan telinga kebelakang. Telinga isitriku kini muncul dari balik rambutnya. Ya ampun… pendek sekali.
Ia meneruskan perjalanan clipper mautnya ke atas. Dan potongan rambut terus berjatuhan. Cepat ia pindah ke sebelah kanan dan kembali melakukan hal yang sama. Istriku nampak berusaha menahan diri.
Pria itu kemudian meletakkan clippernya, dan meraih gunting lain. Kali ini dengan cepat sisir di tangan kirinya menarik rambut istirku kedepan. Oh …poninya !!!
Namun sebelum aku sempat berkata, ia sudah mulai menggunting rambut isitriku tepat didepan matanya. Istriku nampak terbelalak menyaksikannya. Ia lalu mengerahkan serangan nya keatas kepala istriku. Namun tidak banyak yang dipotongnya kali ini. Ia hanya merapikan saja.
Tak lama kemudian ia meletakkan sisir dan guntingmya dimeja panjang. Kulihat istriku menarik nafas panjang. Bapak itu lalu melepas jepit pada kain penutup tubuh istriku. Kusempatkan mengambil gambar tumpukan rambut dipangkuannya. Lalu dengan cepat ia menarik kain itu dan menjatuhkan potongan rambut istriku dilantai.
Istriku masih menatap wajahnya di cermin. Rambutnya pendek sekali. Benar-benar seperti laki-laki. Rasanya seperti potongan rambutku. Ini adalah potongan rambut terpendek yang pernah dialaminya.
Bapak itu mengambil sapu dan mulai menyapu seluruh potongan rambut istriku yang terserak dilantai. Aku mendekati istriku. Merasa bersalah, aku meminta maaf padanya. Ia menjawab pelan “gak papa mas. Cuma masih deg-degan" katanya.
Aduh, pendek sekali rambutnya kini.
Aku mengambil uang disakuku, membayarnya kamudian menggandeng istriku keluar. Sebelum aku masuk mobil, seorang ibu yang nampaknya istri tukang pangkas itu menghampiriku dan berkata, “mas, kalau ngomong sama bapak agak keras ya. Bapak agak budek", katanya sambil berlalu.
Astaga……
Terjawab sudah pertanyaan-pertanyaan di kepalaku. Kenapa kok tempat pangkas ini bersih sekali, kenapa ia terus-menerus memotong rambut istriku.
Jelas sudah bagi kami. Rupanya hanya jawabanku yang pertama saja yang didengarnya. Ketika ia bertanya potong laki? Jadi sia-sia saja kami menjelaskan panjang lebar. Jelas pula bagi kami kenapa tidak ada bekas potongan rambut di kedai itu. Nampaknya kami adalah pelanggannya setelah lama ia tidak menerima tamu. Mungkin karena kekurangannya itu.
Kubelai rambut yang tersisa dikepala istriku yang bersandar ke tubuhku.
“Kapok ma?" tanyaku. Ia tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
6 Komentar:
Kasian yang bapak2 cukur rambut, gk ada pelanggan lg!!
Mas saya sangat tertarik dengan cerita mas itu, saya kurang faham apakah cerita itu fiksi atau non fiksi.untuk lebih jelasnya mas bisa tambahkan photonya? atau mas bisa kirimkan video nya ke e-mail saya siapa tahu ini bisa jadi inspirasi buat kami sama seperti mas lakukan . Terima kasih.
Sangat inspiratif, bolehkah mas dan mba mengirimkan video serta fotonya ke email saya? Saya ingin menirunya, trims...noarya1986@gmail.com atau qno232@yahoo.com
maaf mas noarya232@gmail.com, trims
Mirip seperti saya. Garagara tukang potongnya yang salah denger jadi rambut panjang saya dibabat habis dan ngga tanggung tanggung jadi persis dibawah kuping
Posting Komentar