PERLAKUAN KEJAM TERHADAP BURUH MIGRAN

 
L.T. Ariyawathie selalu teringat akan peristiwa penyiksaan traumatis yang dialaminya saat bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Arab Saudi, dua minggu setelah ia meninggalkan negara itu.

Kini dia berada di kampung halamannya di Srilanka. Awalnya, majikannya di Arab Saudi sekedar meledek bahasa Arab tingkat dasar yang dia pelajari saat masih mengikuti 15 hari pelatihan dasar untuk menjadi pembantu rumah tangga di negeri itu. Peristiwa yang tampaknya sederhana ini berubah menjadi lebih parah.

“Penyiksaan yang aku alami dimulai ketika tanpa sengaja aku memecahkan sebuah piring. Majikanku mencaciku dengan bertanya apa aku buta, lalu mencoba menusukkan suatu benda ke arah mata kananku,” papar Ariyawathie.

Ketika Ariyawathie membela diri un tuk melindungi matanya dengan kedua tanganku, sang majikan malah menusukkan jarum ke dahi di atas matanya. Penyiksaan demi penyiksaan terus dilakukan majikannya.

Tak tahan dengan penyiksaan itu, Ariyawathie akhirnya pulang ke kampung halamannya bulan lalu. Dokter harus mengoperasi badannya untuk mengambil puluhan paku dan jarum yang ditusukkan ke dahi, kaki, dan tangan Ariyawathie.

Pemerintah Arab Saudi telah memeriksa ibu tiga anak yang menjadi majikan Ariyawathie itu. Kasus Ariyawathie itu memunculkan keprihatinan berbagai pihak tentang nasib ribuan pekerja migran dari Asia Tenggara yang bekerja di Arab Saudi.

Datang dengan harapan mendapat gaji lebih baik untuk mendukung keluarga mereka di kampung halaman, mereka malah mendapat perlakuan kejam berupa penyiksaan dan pelecehan seksual.

Human Rights Watch, organisasi internasional pembela hak asasi manusia, telah mengutarakan keprihatinan mereka atas kasus-kasus penyiksaan pekerja migran yang terjadi di wilayah Teluk itu.

Perlakukan kejam terhadap migran, mulai dari penundaan pembayaran gaji, penahanan dokumen perjalanan, kerja paksa berlebihan, hingga pelecehan seksual, merupakan sesuatu yang sering terjadi di seluruh dunia.

Seorang pekerja sosial di Bangladesh, Joynal Abedin Joy, menyatakan, pemer kosaan, pelecehan, hingga penyiksaan, merupakan sesuatu yang rutin dialami para pekerja migran yang menjadi pembantu rumah tangga di Lebanon, walau pemerintah Lebanon sendiri mengatakan bahwa mereka tidak mengetahui adanya penyiksaan-penyiksaan itu.

“Minggu yang lalu seorang gadis kembali kemari dari Lebanon,” kata Joy. Gadis itu digundul. Dia mengatakan bahwa majikannya telah memotong semua helai rambutnya itu karena ia menolak melakukan hubungan seks dengannya.

Pada tahun 2009 saja, 11 mayat gadis Bangladesh dipulangkan dari Lebanon. Kebanyakan jenazah mengalami tanda-tanda penyiksaan. “Aku kenal seorang gadis Bangladesh yang menelpon meminta pertolongan kepada keluarganya di rumah.

Dua hari kemudian, majikannya di Lebanon menelpon keluarga si gadis ini, memberi tahukan bahwa si gadis tersebut telah meninggal karena sakit jantung,” papar Joy. Maya Gurung, 35 tahun, meninggalkan Nepal pada 2004 setelah bekerja sebagai tukang kebersihan di Kuwait.

Maya dipaksa untuk bekerja selama 20 jam setiap harinya. Gadis Nepal inipun harus bertahan hidup dengan hanya makan sisa-sisa makanan majikannya. Upayanya untuk kabur dari majikannya runtuh karena agen perekrutannya telah mencuri passport-nya.

Ketika ia melaporkan kasusnya ke polisi untuk meminta pertolongan, ia malah dipenjarakan dengan tuduhan menjadi imigran ilegal.

Butuh Perlindungan

Berbagai organisasi persatuan buruh serta aktivis pembela hak asasi manusia mengatakan, pekerja migran butuh perlindungan lebih besar, sementara sejumlah negara gagal mengadopsi hak perlindungan ini di dalam hukum perburuhan mereka.

Organisasi buruh dunia, The International Labour Organization (ILO) kini tengah mencoba mengerjakan tata aturan baru untuk para pekerja itu, meliputi kontrak tertulis, mekanisme pengaduan, hingga jaminan upah minimum sertaketentuan lama jam kerja.

Sementara, anggota parlemen Srilanka, Ranjan Ramanayake telah menyerukan pemerintah negeri itu untuk mengambil tindakan tegas dalam melindungi nasib para pekerja migran dari negeri itu.

Ia menyarankan agar pemerintah memasukkan Arab Saudi ke dalam daftar hitam negara tujuan para pekerja.

“Saya malu mengatakan ini, namun sejujurnya, kita memang telah menjadi germo internasional dengan mengirimkan ibu kita, puteri kita, atau keponakan kita ke luar negeri hanya untuk disiksa dan dilecehkan,” kata Ranjan.

0 Komentar:

Posting Komentar