PEREMPUAN BERKEPALA PLONTOS

Udara membisu, meniupkan iramanya terbang ke atas lalu jatuh gontai ke bawah dengan nada kesunyian. Melambungkan ingatan jiwa-jiwa lara Melelapkan pikiran yang lelah, selelah sosok perempuan yang tengah terpancang diam tiada suara. Entah sudah berapa lama perempuan itu terpaku menatap sosok wajah di cermin yang tergantung di dinding kamar. Kamar kecil yang dirasa sangat-sangat asing baginya. Tidak terlalu sempit memang, tetapi cukup membuat dirinya serasa dihimpit angkuhnya kebisuan dinding kamar. Matanya menyipit. Dipasatinya sosok wajah dengan tahi lalat di pipi kiri itu, tak berkedip seolah ia ingin melumat habis setiap bagian wajah itu. Pertama kali didapatinya, kepala sang perempuan tidak ditumbuhi satu helai rambut pun. Cukup aneh bagi seorang hawa menggunduli kepalanya. Ia membatin. Tetapi ketiadaan mahkota para perempuan padanya tidak serta-merta merontokkan kecantikannya. Pesona kecantikan itu tidak pudar oleh kepalanya yang plontos. Tak ada senyum diwajah letih itu.

Terangnya ruangan oleh cahaya mentari ditambah pancaran neon 10 watt tidak membuat pandangannya seterang cahaya di kamar mungil itu. Ada tabir hitam yang menghalangi pandangannya. Temaram dan agak kabur. Keriuhan di luaran sana pun tidak membuat pandangannya yang kosong beranjak dari sosok wajah yang menghiasi cermin bundar tersebut. Diamatinya lekat-lekat seakan ini kali pertama ia melihatnya.

Ia sibuk dengan alamnya sendiri. Pikirannya seperti dedaunan yang hanyut terbawa arus sungai. Diikutinya terus kemana benda cair itu bergerak membawanya. Namun tak kunjung ia terdampar pada sesuatu yang diinginkannya. Tak hendak ia larut dengan gelombang keriuhan. Sang perempun hanyut dengan arus pikirannya sendiri. Cermin dihadapannya adalah sungai yang dialiri riak-riak ombak wajah nelangsa itu.

Tak banyak yang didapatinya dari sosok perempuan berkepala plontos dengan wajah berkulit putih itu, selain balutan perban yang melingkari keningnya. Kepala plontos dan balutan perban yang berangkai merajut tanda tanya berkelindan yang menggantung di benaknya. Balutan kasa putih itu tidak hanya menutup kulit luarnya semata. Tetapi juga menutup rapat suatu ruang miliknya. Kusut dan rapat, terlalu sukar untuk dibongkar, terlalu rumit untuk diurai. Namun yang ia ketahui, sang perempuan pasti tengah menahan sakit di kepalanya.

Mata itu tetap tidak membuka celah baginya untuk melihat siapa wajah itu. Mata yang melalui hari-hari dengan sedikit terpejam, yang lebih banyak terjaga karena kurang tidur. Menghadiahi wajahnya dengan bulan sabit hitam dibawah dua matanya. Hidung yang mancung itupun tak kuasa mengendus jejak-jejak yang telah dilaluinya. Jejak yang telah diukirnya sirna begitu saja. Tak berbekas sama sekali seperti memahat di air. Malah riaknya mengombang-ambingkan pikirannya. Terus terbawa genangan air yang dalam dan tak bertepi. Tak dapat ia berlabuh tak ditemuinya tepian untuk melempar sauh. Berhenti pun ia pada samudra tak bertepi, ombaknya tetap mengayun-ayun dan mempemainkannya. Mabuk laut yang memuntahkan keletihan yang amat sangat. Makin tersesatlah ia. Demikian halnya telinga yang tidak mampu mendengarkan kabar masa lalunya.

Dibiarkannya untuk sekian lama menatap utuh wajah perempuan berkepala plontos sebelum pandangannya jatuh terpusat pada hiasan hitam bulat di wajahnya. Sebuah titik hitam yang bertengger di pipi kirinya. Menghias indah wajah peranakan Jawa-Arab itu.

“Tahi lalat mu itu bagaikan bintang yang menghiasi malam. Semesta malam tak akan indah tanpanya. Wajahmu lah semesta malam itu. Tahi lalatmu adalah bintang yang paling benderang cahayanya,”. Hanya itu yang didapatinya dari sosok wajah berkepala plontos itu. Pujian itu terdengar sangat akrab tapi terlalu rapuh untuk direngkuh.

Selain di wajah, ia mengetahui di tubuhnya bertebaran tahi lalat. Tak ada keberanian mengingat tahi lalat yang tersebar di tubuhnya, ada ketakutan menghantuinya. Sejurus kemudian oksigen dirasakanya begitu susah masuk ke indra pernapasannya. Ada yang menyodok ulu hatinya. Tiba-tiba tahi lalat yang tersebar itu mengkristal menggumpal jadi satu, berwujud bola hitam berukuran raksasa. Dihimpitnya ia. Dadanya dirasakan sangat sesak karena begitu sukar baginya untuk bernapas. Bertebaran dan bermain di alam pikirannya. Sesuatu yang dirasa sangat dekat tetapi terseok-seok ia menggapainya. Berhenti ia dari memilin ingatannya. Kesunyian kembali hadir dan bermain di pikirannya. Ketakutan menghantuinya.

Kesunyian panjang terus bernyanyi diantara waktu-waktu. Mengalunkan nada menyanyat hati perawan (?) berkepala plontos. Irama yang menggunduli kebisingan disekitarnya. Melantunkan nada-nada yang akhirnya tenggelam dalam kesendiriannya. Kesendirian merangkai masa lalunya.

Sore ini kembali ditatapinya lekat-lekat perempuan berkepala plontos itu. Bertemankan burung layang-layang yang seolah tak lelah berterbangan. Di kursi sebuah taman, didapatinya wajah dingin itu pada cermin yang lain. Cermin itu lebih kusam dibanding cermin bundar di kamarnya. Ukurannya pun lebih kecil. Namun begitu dekatnya ia, sehingga wajah perempuan berkepala plontos itu seakan tak tertampung lagi oleh besarnya cermin. Untuk sesaat wajah di cermin itu merangkaikan senyumya. Tapi toh itu hanya senyuman kosong. Sekosong tatapan matanya yang memandangi senyuman itu. Sehampa pandangannya yang menembus lesung pipit di dua pipinya.

Lesung pipit itulah yang menarik hatinya. Meski sang permpuan berkepala plontos sudah tak ingin memberikan senyumnya, senyum dengan lesung pipit itu terus membuat ceruk di ranah ingatannya. Digali sejumput demi sejumput. Membebaskan yang terkubur nun jauh di dalam sana. Meluruhkan perlahan balutan yang melilit erat ingatanya. Lesung yang menyedotnya seperti pusaran air, membenamkanya jauh-jauh ke masa yang dirasa asing baginya. Mata rantai yang menjalin erat lembaran hidupnya seakan luruh. Sesekali potongan-potongan yang terekam ingatannya menyeruak cepat, hilang timbul menampilkan slide tak beraturan.

“Lesung pipitmu sungguh indah. Keduanya seperti bulan dan matahari yang saling melengkapi,” sanjungan itu terngiang-ngiang keluar dari ceruk yang telah menghisapnya. Sekejap semua raib. Bagai tanpa bekas, ceruk di pipi tak lagi terlihat. Di bidang putih namun kusam itu tak ada lagi perempuan berkepala plontos.

Di taman dan cermin yang sama kembali ia dapati pandangan kosong sang pemilik wajah ayu itu. Ia tersenyum. Ia mendapati kepala itu mulai ditumbuhi rambut. Kembali ia merajut senyumnya. Kanvas kosong itu terisi dengan warna senyumanya. Bulan sabit yang menggantung di wajahnya telah menyapukan kuas yang lagi-lagi menyematkan warna berupa dua ceruk indah.

Perempuan kepala plontos itu mengusik satu ruang di alam bawah sadarnya. Selalu ada bersamanya. Ditemukan dibayangannya bahkan dalam mimpinya sekalipun. Namun tak jua ditemui sesuatu yang ia cari. Semua seakan hilang, rontok bagai rambut di wajah siperempuan berkepala plontos. Hilang seiring berhentinya kepakan sayap burung yang lelah.

Untuk sekian kalinya ia seakan berhenti bernapas. Tangan-tangan raksasa itu keluar dari cermin yang dipegangnya. Memeluk erat tubuh rapuhnya. Mengkerucutkan memorinya. Sebuah kerucut runcing yang tajam dirasa menusuk genggaman tangannya.

Praaak…

Cermin jatuh dan terpecah. Menangis ia, sang perempuan bekepala plontos sirna. Hilang terpencar bersama serpihan cermin yang tak lagi utuh.

Disebelah lemari disamping tempat tidur mewah tergantung cermin yang sama tinggi dengan empunya. Sama bersihnya dengan kulit gadis yang sedari tadi asik mematut diri. Rambut lurus panjang sebahu. Pujian yang didapat karena indah rambutnya, mungkin sama banyaknya dengan jumlah helai rambut yang bertengger di kepalanya. Belum lagi pujian untuk tahi lalat, lesung pipit, hidung mancung dan segala penampakan fisiknya.

Ia lebih memilih menikmati sanjungan itu dari pada harus mengikuti petuah yang dirasanya sangat-sangat menggurui. Telinganya masih belum rela kehilangan suara-suara mengenai kelebihan dirinya. “Yang penting hati,” begitu jawabnya saat sang ibu menasehati agar ia tidak memperlihatkan apa yang tidak seharusnya ia perlihatkan kepada sembarang orang.

Malam ikut membisu bersama kegelapan yang menutupi dosa-dosa dari mata-mata manusia. Seperti malam itu, malam kelam bagi sosok anak manusia. Malam yang ternoda oleh keganasan menggila yang menakutkan dari tiga pemuda atas seorang gadis. Perempuan dengan wajah peranakan Jawa-Arab dengan tahi lalat manis di pipi kiri yang kini terluka teramat dalam. Perih, tidak saja jasadnya tetapi jauh didalam jiwanya. Gerimis jatuh dari langit seiring dengan gerimis di matanya yang menghangat. Ia melara, merana. Apa dayanya ia menghadapi tiga lelaki yang merenggut miliknya yang paling berharga, berteriak pun ia tak punya kuasa. Gundah, duka lara, kegamangan dan segala kelemahan mengakrabinya. Tergeletak dengan pakaian seadanya, tubuh ringkih itu tak lagi ditumbuhi rambut di kepala. Meski malam tak lagi menyapa, namun luka tak hendak beranjak. Malam yang mewariskan air mata telah melarung masa lalunya.

Cerpen Deddy Rachmawan

0 Komentar:

Posting Komentar