HARGA MAHAL PENGORBANAN SELEBRITI WANITA

Perempuan berkepala gundul! Ini bukan lagi kejutan baru, yang bernilai komersial di kancah keartisan Indonesia. Banyak perempuan di dunia selebriti yang rela mengorbankan “mahkota terindah” itu untuk menembus kesuksesan peran dari sebuah filmnya.

Ini sisi lain potret emansipasi Kartini yang membuat keberanian perempuan tampil tanpa rambut. Ketomboian tokoh Rohaye di sinetron “Kecil-Kecil Jadi Manten” membuktikan totalitas pemeranan dari alm. Sukma Ayu yang tampil tanpa mahkota.

Secara fisik, kapasitas perannya lebih mahal dan menantang dibandingkan dengan Yati Surachman di film “Perawan-Perawan” (1981).

Namun, siasat meninggikan daya jual sinetron itu justru menurunkan harga keindahan mahkota perempuan. Pasalnya, banyak tokoh lainnya di sinetron itu tampil bermodel rambut ala Ronaldo. Hanya sedikit rambut yang tersisa di bagian depan kepalanya. Itu sebabnya, penggundulan kepala di kancah selebriti perempuan, bukan lagi kejutan penampilan yang meniupkan popularitas berdaya komersial.

Berbeda saat keberanian itu dilakukan bintang Yatie Octavia, yang menyulut kehebohan perfilman nasional tahun 1979. Padahal, film “Rahasia Perkawinan” (H. Maman Firmansyah) itu hanya menampilkan adegan rambut sang bintang digunting acak-acakan. Namun, sukses besar filmnya berbuah Piala Antemas di FFI 1980 di Semarang, sebagai lambang film terlaris.

Sebaliknya, ketika Dian Ariesta berkepala gundul dalam film “Puteri Giok” (Iksan Lahardi), tak menuai sukses sebesar pengorbanannya. Berulang pula di tahun 1989, totalitas pemeranan Dian Anggraeni yang harus tampil gundul di sinetron “Nyi Birah” (Darto Joned), tidak mampu mendongkrak keartisannya.

Peranan bernuansa sensasi seperti itu bahkan terkesan jadi biasa-biasa saja setelah dilakukan Sylvana Herman, Dominique Sandra, pemeran sinetron “Tuyul & Mbak Yul” hingga kehadiran alm. Sukma Ayu. Selama ini, film yang membintangkan wanita tanpa rambut tak menandingi ketajaman sukses Yatie Octavia.

Sebab, sukses filmnya sangat terdukung oleh tingkat popularitas bintang pemerannya.

Belum pernah ada sinetron yang menjual keberanian wanita gundul sehingga bisa berbuah sukses dan setimpal dengan pengorbanan mereka. Sukses karier wanita dalam keartisan tak cukup hanya bertaruh keberanian emansipasi penampilan. Kenyataan membuktikan, kerelaan pengorbanan berkepala gundul bukan lagi jalan pintas yang mampu dipertaruhkan untuk mencapai reputasi.

Sensasi tampil gundul membutuhkan dukungan banyak aspek lainnya. Selain nilai jual bintangnya, kandungan penceritaan, kadar peran, dan gencaran promosi amat menuntut prioritas. Itu tertinggal dari film asimilasi “Puteri Giok” (1981), yang tanpa kebaruan tema dan hanya spekulasi keberanian pendatang baru.

Tematis cerita klise pembauran etnik itu pernah dikemas film “Mey Lan Aku Cinta Padamu” (Pietradjaya Burnama) tahun 1974. Sebelumnya, “Matinya Seorang Bidadari” (1971) karya alm. Wahyu Sihombing, memasang Poppy Dharsono dan sang maestro bulu tangkis dunia, Rudy Hartono. Lahir pula film “Sakura Dalam Pelukan” (1973) yang membintangkan Liem Swee King jagoan bulu tangkis lainnya. Ingat lagi film “Kisah Fanny Tan” (1971) garapan Andjar Subiyanto, “Misteri In Hongkong” (Iksan Lahardi), hingga film komedi asimilasi “Apanya Dong” (1983) karya alm. Nyak Abbas Akup. Pengorbanan mahal Dian Ariesta pun lalu tercampak dan berlalu begitu saja.

Kehadiran “Nyi Birah” maupun “Kecil-Kecil Jadi Manten”, tidak membuat sinetron itu perkasa di layar kaca. Kalaupun begitu, pengorbanan pendukungnya untuk totalitas pemeranan tanpa mahkota, layak dihargai. Tentu saja, karena tak semua artis wanita berani tampil berkepala pelontos. Tak juga semua pria siap tampil botak, seperti dilakukan alm. Sandy Suwardi Hassan untuk film “Kutukan Dewata” (1970) karya alm. Nawi Ismail. Lalu aktor Kusno Soedjarwadi sebagai Sapujagat di film “Si Buta Dari Goa Hantu” (1971) karya Liliek Sujio. Ternyata, aktor berkepala gundul yang dihadirkan kemudian dalam filmnya, tak sesukses kedua aktor terdahulu.

Ingat kembali Ray Sahetapy di film “Opera Jakarta” (alm. Syumandjaya), Cok Simbara dalam film “Lembah Tidar” maupun Roy Marten di film “Wolter Monginsidi” yang keduanya disutradarai Franky Rorimpandey. Kenyataan yang menawarkan makna, tampil gundul tak selalu berbuah kejutan di sisi pemasaran filmnya. Itupun karena pernah dilakukan aktor sebelumnya. Kalaupun tercapai sukses besar film silat “Si Buta Dari Goa Hantu” pertama, bukan karena pengorbanan rambut Kusno Soedjarwadi semata. Lebih dimungkinkan lagi karena terdukung kepopuleran komik silat Ganes Th. dan kebaruan muatan teknis filmis yang dijualnya.

Semangat Kartini dalam perfilman pun, tak lagi berdaya kebaruan peristiwa yang menghebohkan.

Tak semua popularitas selebriti terwujud setelah berani tampil gundul. Tingkah laku tokoh Rohaye, perempuan cantik belia yang jadi korban mode di sinetron “Kecil-Kecil Jadi Manten”, masih juga tak melambungkan sukses besar alm. Sukma Ayu. Celakanya, meski itu dilakukan untuk melayani tantangan berperan, namun keberanian menumbalkan rambut sebagai mahkota terindah kaum wanita, terkadang dicurigai sebagai sensasi merebut popularitas. Apalagi, jika sekadar tergoda menuturi irama mode.

0 Komentar:

Posting Komentar